Rabu, 18 Agustus 2010

Kearifan Sufi

Ada sebuah kisah
sufi yang sung -
guh menarik di -
renungkan. Sua -
tu hari, Abu Yazid
al-Bus thami
ber sama temannya mencuci
pa kai an di tengah padang. Saat
tiba waktu menjemur, sang te -
man berkata, “Gantung saja
pakaian ini di tembok dengan
memutar.” Mendengar usulan
temannya, Abu Yazid kontan
menjawab tidak setuju, “Ja -
ngan menyelipkan baju di tem -
bok orang.” Karena tidak di se -
tujui, sang teman memberikan
pilihan lain, “Kalau begitu, je -
mur saja di pohon.” Abu Yazid
kembali mencegah, “Jangan,
nanti rantingnya bisa patah.”
Mendapat penolakan kedua
kalinya, sang teman mulai
heran, “Apakah kita jemur di
atas rumput?’ Lagi-lagi, Abu
Yazid menunjukkan ketidaksenangannya,
“Jangan, rumput
itu makanan binatang.” Sertamerta,
Abu Yazid meletakkan
pakaian yang masih basah itu
di punggungnya. Begitu sisi
pakaian kering, ia balik lagi
untuk sisi lain hingga kering
keseluruhan dan dipakainya
kembali.
Sikap dan pandangan sufi ini
perlu diangkat ulang di te ngah
maraknya keinginan un tuk me -
nguak kembali kearif an-kearif -
an lokal (local genius), baik yang
bersumber dari ke agama an
mau pun komunitas lokal dalam
rangka turut meng atasi krisis
lingkungan de wasa ini.
Dalam pandangan sufi, se -
mua yang ada di alam semes ta
adalah makhluk Allah yang
harus dipiara dan dilindungi.
Manusia menempati posisi
yang sangat istimewa dalam
ke seluruhan tatanan alam se -
mesta dan kosmik. Manusia di -
pandang sebagai tujuan akhir
penciptaan juga sekaligus se -
ba gai khalifah Tuhan di muka
bumi. Karena alasan tersebut,
manusia telah diberikan hak
untuk mengelola alam.
Bagi para sufi, alam tidak
akan pernah menjadi semata
objek-objek yang mati untuk
mengabdi pada manusia. Alam
adalah sebuah wujud hidup
yang mampu mencinta dan di -
cinta. Jika manusia modern
cenderung melihat alam hanya
dari aspek fisiologis dan kuantitatifnya
serta memandang
bah wa alam harus dikontrol
dan dikuasai demi semata-ma -
ta kepentingan manusia, para
sufi justru melihatnya sebagai
simbol. Dari simbol-simbol
alam itu, dapat ditangkap isya -
rat mengenai realitas-realitas
yang lebih tinggi.
Alam adalah cermin universal
yang memantulkan apa pun
yang ada di dunia. Keberadaan
alam menjadi sebuah panorama
simbol yang luas, yang
berbicara kepada manusia dan
memiliki makna baginya. Da -
lam konteks inilah, seorang sufi
menyebut alam sebagai ba -
yang an, yakni bayangan dari
Tuhan Yang Maha Esa.
Dari lubuk alam yang da -
lam, manusia harus berusaha
mengatasi alam, dan alam sen -
diri yang berfungsi sebagai
tangga. Keberadaan alam da -
pat bertindak sebagai peno -
pang dalam proses ini. Dari do -
rongan untuk mentransenden
alam dan juga untuk menyeberangi
jurang antara pengetahuan
teoretis dan pengetahuan
diri yang terealisasi, ide
tentang pengembaraan spiritual,
muncul ke permukaan da -
lam begitu banyak karya mis -
tik dan filosofis.
Dalam keseluruhan karya
dan langkah para sufi sangat
terbaca pemikiran yang meng -
ungkapkan secara simbolis dan
indah mengenai pelajaran me -
reka sendiri ke dunia spiritual.
Semua ini tidak berarti hanya
cerita-cerita fiktif, tetapi merupakan
refleksi dari perjalanan
spiritual mereka ke pada realitas
sejati, al-Haqq.
Bagi para sufi, tempat kita
hidup sekarang hanyalah satu
dari dunia lainnya. Ia bertindak
sebagai tangga dan hanya
melalui tangga itulah manusia
bisa melakukan pendakian spi -
ritual, mi’raj untuk bisa menu -
ju puncak wujud, yaitu Tuhan.

Pemaknaan khalifah
Salah satu ayat di dalam Al -
quran yang mengandung ni lai
antroposentrisme adalah Surah
Albaqarah ayat 30, yakni Tuhan
hendak menempatkan ma -
nusia sebagai khalifah. Me -
nariknya, terdapat dialog Tuhan
dengan malaikat soal pe -
nempatan manusia sebagai
kha lifah di bumi. Malaikat me -
ngatakan, mengapa Tuhan
men ciptakan manusia yang ba -
kalan merusak bumi itu.
Perlu diingat, jika Islam di -
lihat hanya pada tataran for -
mal melulu, jantung dari Islam
itu, yakni tasawuf akan terabaikan
begitu saja. Padahal,
pandangan tasawuf inilah yang
dapat menjelaskan pengertian
khalifah secara baik.
Dalam tradisi tasawuf, ma -
nusia ada lah lokus manifestasi
diri-Nya. Karena Tuhan tidak
terbatas, manifestasinya pun
tidak terbatas. Sebagaimana
manusia, alam pun merupakan
manifestasi Tuhan. Hal ini me -
nunjuk kan bahwa alam memiliki
di mensi spirit atau roh.
Dengan demikian, perlakuan
manusia terhadap alam memiliki
kesetaraan, yakni samasama
lokus manifestasi Yang
Sakral.
Sedangkan khalifah yang
dimaksud adalah bagaimana
manusia dapat menyerap selu -
ruh manifestasi Tuhan, yang
salah satunya adalah alam, ke
dalam dirinya. Maka itu, kha -
lifah dimaksud bukanlah dominasi
terhadap alam, melainkan
bagaimana manusia mengha -
yati Yang Sakral hadir dalam
alam. Dan, pada akhirnya ma -
nusia dapat memanifestasikan
Yang Sakral secara sempurna
atau menjadi Manusia Univer -
sal (al-Insan al-Kamil).
Dalam menganalisis krisis
lingkungan, Seyyed Hussein
Nasr dalam bukunya The En -
counter of Man and Nature
(Lon don, George Allen & Un -
win Ltd 1968) bertolak dari pe -
mahaman sufi yang menegas -
kan bahwa alam merupakan
teofani (tajalliy) Tuhan yang
menyelimuti dan sekaligus
meng ungkap kebesaran Tuhan.
Lingkungan alam ada lah tan -
da-tanda (ayat) Tuhan yang
tampak (al-syuhud). Je lasnya,
Tuhan adalah ‘Ling kung an’
tertinggi yang menge lilingi dan
mengatasi manu sia. Alquran
sendiri menyebutnya Tuhan itu
sebagai Al-Muhith (Yang Serba
Mencakup). Al-Muhith itu sen -
diri juga berarti lingkungan.
Kesadaran ini merupakan
sebuah upaya untuk menjembatani
jurang yang memisah -
kan manusia dari Tuhannya.
Dengan melaksanakan segala
kewajiban syariat dan memperbanyak
zikir untuk mengingat-
Nya, berusaha memperkecil
perbedaan antara Tuhan
yang Mahasuci dan roh ma -
nusia yang kotor karena pe ng -
aruh hawa nafsu.

Marwan Ja’far
Ketua Fraksi PKB DPR RI
(Republika 18 Agustus 2010 halaman 4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar