Sabtu, 14 Agustus 2010

Meng-clear-kan Kategori Telantar

Salah satu asas kebijakan
per tanahan nasional yang
tertuang dalam Un dang
Undang Pokok Agra ria–
UUPA ialah fungsi so sial. Im -
plementasi asas ini, hak atas ta -
nah hapus karena dite lan tarkan.
Apa kategori tanah te lantar?
Pasal 6 UUPA dinyatakan
se mua hak atas tanah mempu -
nyai fungsi sosial. Berarti hak
atas tanah apa pun yang dimiliki
setiap orang dan badan hu -
kum tidaklah dapat dibenar kan
bahwa tanahnya dipergunakan
atau ditelantarkan se mata-mata
untuk kepentingan pribadi.
Mes kipun demikian, tidak ber -
arti kepentingan per seorangan
terabaikan oleh ke pentingan
umum. Kepentingan perse -
orang an dan kepentingan umum
ha rus berjalan secara adil.
Tanah telantar bertambah
setiap tahun. Dalam lima tahun
terakhir ini mencapai 7,3 juta
hektare. Terdiri atas kurang le -
bih 3 juta hektare tanah yang
telah bersertifikat, yaitu hak
gu na usaha (HGU), hak guna
ba ngunan (HGB), hak pakai
(HP), dan hak pengelolaan
(HPL). Sisanya, berbukti surat
ke putusan izin prinsip dan/ -
atau izin lokasi, surat/akta ju -
al-beli, dan lain-lain. Kondisi
kuantitatif tanah telantar ini
telah merugikan keuangan dan
per ekonomian negara serta
menghambat pembangunan
nasional. Harga tanah melambung
tinggi melebihi daya beli
pasar. Persedian tanah negara
pun berkurang. Instrumen pe -
ngendalian tanah telantar be -
rupa Peraturan Pemerintah No
36 Tahun 1998 tentang Pener -
tiban dan Pendayagunaan Tanah
Telantar tidak cukup efek -
tif mengendalikan bertambah
ta nah telantar. Diharapkan
dengan Peraturan Pemerintah
No 11 Tahun 2010 tentang Pe -
nertiban dan Pendayagunaan
Tanah Telantar bisa lebih efek -
tif. Target penertiban tanah te -
lantar dalam kebijakan baru
ini adalah tanah yang dikuasai
oleh badan hukum privat.
Termasuk tanah yang dikuasai
dengan hak milik oleh yayasan
tertentu yang bergerak di bi -
dang sosial keagamaan. De -
ngan demikian, tanah yang di -
kuasai oleh badan hukum di
bi dang perumahan dan permu -
kiman termasuk objek pener -
tiban, kecuali tanah yang di -
kua sai oleh Perum-Perumnas.
Yang paling radikal dalam
ke bijakan baru ini sebagai be -
rikut. Pertama, masa pembinaan
tanah telantar atau ter -
indikasi telantar hanya diberi -
kan dalam waktu tiga bulan,
dan sifatnya peringatan bah -
kan ’ancaman’. Berbeda de -
ngan kebijakan sebelumnya,
yang pembinaannya dilakukan
selama dua tahun sehingga
ber sifat ’apresiatif’. Kedua, un -
tuk mengetahui tanah terindi -
kasi telantar dilakukan identifikasi
dimulai terhitung tiga ta -
hun sejak diterbitkan hak atas
tanah. Berbeda dengan kebijakan
yang lama, dimulainya
kegiatan identifikasi bersifat
tentatif. Dengan dua subtansi
ini diharapkan dapat mempercepat
eksekusi tanah telantar.
Sayangnya dalam kebijakan
baru ini, tidak secara eksplisit
mengurai kategori tanah telantar
atau terindikasi telantar
sehingga banyak menuai kontroversi
bahkan sampai uji ma -
teri (judicial review) ke Mah -
ka mah Konstitusi.
Potensi masalah dalam ke -
bijakan baru berikut ini. Per -
tama, kategori tanah telantar
atau terindikasi telantar yang
tidak jelas. Kedua, masa pembinaan
yang terlalu cepat. Ke -
tiga, kewenangan kepala Kan -
tor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi untuk meng -
eksekusi terlalu besar. Masa
pembinaan yang terlalu cepat
dan bersifat peringatan, kemudian
tidak jelasnya kategori
tanah telantar atau terindikasi
telantar berpotensi penyalahgunaan
wewenang yang dapat
merugikan kepentingan peme -
gang hak atas tanah.
Mengategorikan tanah te -
lantar atau terindikasi telantar
setidaknya harus didasar -
kan pada dua masalah, yakni
masalah umum dan teknis. Ma -
salah umum, apakah pemerintah
telah menciptakan kondisi
keamanan yang kondusif dan
perekonomian negara yang
stabil? Serta, apakah ada ben -
cana alam yang signifikan ter -
jadi? Kondisi keamanan yang
tidak kondusif seperti pernah
terjadi di Aceh, mengakibatkan
manajemen tidak dapat mela -
kukan kegiatan usaha. Kegon -
cangan ekonomi negara yang
terjadi tahun 1998, mengakibatkan
struktur modal usaha
terganggu sehingga perlu revitalisasi
terlebih dahulu. Daya
beli masyarakat tidak ada se -
hingga kegiatan produksi
berhenti. Begitu pula, bencana
alam akan berakibat hancur -
nya aset perusahaan yang pada
gilirannya merusak struktur
modal usaha sehingga perlu
waktu untuk revitalisasi. Da -
lam hal masalah umum ini me -
nimpa perusahaan maka tidak
dapat disalahkan yang ber -
sangkutan, bahkan sampai di -
peringatkan untuk kemudian
tanahnya dieksekusi menjadi
tanah negara. Perlu ada penyelesaian
yang lebih adil sebagaimana
kebijakan Peraturan
Pemerintah No 36 Tahun 1998.
Masalah teknis adalah apa -
bila badan usaha tidak mela ku -
kan kegiatan sesuai dengan ta -
hapan kegiatan membangun
yang tertuang dalam proposal
ke giatan perusahaan, yang di -
lampirkan sebagai persyaratan
dalam rangka permohonan hak
atas tanah. Secara empiris, wak -
tu yang diperlukan untuk me -
nye lesaikan tahapan kegiat an
pembangunan tersebut bisa me -
lebihi tiga tahun, bahkan sam -
pai menjelang berakhirnya hak
atas tanah yang pertama kali,
tergantung jenis usaha nya.
Bidang properti, misalnya,
kegiatan membangun rumah
oleh developer didasarkan pa -
da perhitungan potensi pasar
da lam periode waktu tertentu
dan dilakukan secara bertahap.
Tahap pertama kegiatan konstruksi
dalam setiap periode
adalah ’pematangan lahan’
yang luasnya disesuaikan de -
ngan rencana rumah, yang
akan dibangun menurut perhitungan
potensi pasar dalam
periode itu. Pembangunan ru -
mah di atas tanah yang telah
di matangkan berjalan menurut
waktu sebagaimana permin -
taan pasar. Dalam hal ini bisa
memakan waktu sampai 10 ta -
hun. Sisa tanah yang belum di -
matangkan merupakan ta nah
cadangan untuk pemba ngunan
periode berikutnya. Tanah ca -
dangan ini berfungsi untuk
men jaga keberlanjutan suplai
dan sekaligus untuk mengendalikan
harga tanah sehingga
kenaikan harga ru mah, dapat
disesuaikan dengan tingkat
inflasi dan daya beli pasar. De -
ngan demikian, tanah yang te -
lah dimatangkan mes kipun be -
lum terbangun dan tanah ca -
dangan, tidak termasuk kategori
tanah telantar karena se -
cara teknis hal itu telah tertu -
ang dalam proposal kegiatan
perusahaan, dan telah menjadi
ba han pertimbangan dalam
pem berian hak atas ta nah.

Jamil Ansari hukum.
Staf Ahli Menpera
(Republika 14 Agustus 2010 halaman 4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar