Senin, 23 Agustus 2010

OJK dan Masalah Pengawasan

B abak pembentuk -
an Otoritas Jasa
Keuangan (OJK)
telah memasuki
fase penting,
pem bahasan di DPR. Ketua
Panitia Khusus (Pansus) RUU
OJK, Nusron Wahid dari Fraksi
Partai Golkar, menyampaikan
bahwa RUU OJK baru akan
mulai dibahas setelah masa
reses berakhir atau saat dimulainya
masa Sidang V DPR RI,
tepatnya pada 18 Agustus 2010.
Hal ini berarti waktu untuk
pembahasan di Pansus RUU
OJK hanya akan memiliki
tenggat empat bulan apabila
kita konsisten menjalankan isi
Pasal 34 ayat 2 Undang-Un -
dang Nomor 3 Tahun 2004
tentang Bank Indonesia. Pasal
ini mengamanatkan pembentukan
OJK harus sudah dila -
kukan selambat-lambatnya pa -
da 31 Desember 2010.
Pembentukan OJK—sebagai
lembaga pengawas sektor jasa
keuangan—akan menaungi
tiga sektor utama: perbankan,
pasar modal, dan industri ke -
uangan nonbank (IKNB). Hal
ini tidak saja menarik perhati -
an masyarakat karena begitu
besarnya peran yang akan
diemban dengan melibatkan
berpuluh ribu unit usaha sek -
tor perbankan yang selama ini
berada dibawah kendali Bank
Indonesia dan Kementerian
Keuangan melalui BAPEPAM/
LK, tapi konsep yang diusung
dalam pembentukan OJK ini
masih terdapat begitu banyak
poin kontradiktif yang menunjukkan
bahwa sebenarnya kon -
sep OJK yang ditawarkan be -
lum siap untuk diimplementasikan.
Dari sekian banyak
aspek kelemahan dari pembentukan
OJK, tulisan ini akan
secara khusus menyoroti bagai -
mana konsep pembentukan
OJK tidak memiliki semangat
yang cukup untuk berusaha
memperbaiki sistem peng awas -
an sektor keuangan diban ding -
kan proses yang ada selama ini,
bahkan pembentukan OJK
berpotensi hanya akan menjadi
sebuah kemubaziran.
Menurut naskah akademis
RUU OJK, pembentukan OJK
sebagai otoritas pengawas
sektor keuangan dilandaskan
beberapa alasan utama, yaitu
(i) independensi, (ii) integrasi
untuk menghindarkan diri dari
konglomerasi dan arbitrase
peraturan, serta (iii) menghindari
benturan kepentingan.
Bahkan, sebagaimana publik
memahami, alasan-alasan ter -
sebut lantas diperkuat dengan
isu-isu terkini, seperti adanya
kegagalan Bank Century dan
skandal surat berharga PT
Antaboga hingga perbedaan
pencapatan di Bank Capital
yang menurut beberapa pihak
menjadi fakta bahwa sistem
pengawasan dan pengaturan
yang ada selama ini (status
quo), baik di Bank Indonesia
maupun BAPEPAM/LK, belum
cukup baik untuk mampu
men jaga stabilitas sektor ke -
uangan di Indonesia. Sejauh
ini, memang pembentukan
OJK terlihat sebagai langkah
meyakinkan yang harus segera
dilakukan.
Menanggapi hal tersebut,
pemerintah melalui Tim Pa -
nitia Antardepartemen RUU
tentang OJK mendesain konsep
OJK dengan model unified su -
pervisory yang dianggap akan
menjadi jawaban atas semua
permasalahan yang selama ini
ada di sektor perbankan. Na -
mun, ternyata konsep yang
diusulkan memiliki semangat
yang jauh berbeda dari upaya
untuk memperbaiki sistem
status quo. Hal ini dengan
mudah dapat kita temukan
dalam perumusan RUU OJK
yang telah diserahkan peme -
rintah ke DPR. Dalam RUU
ter sebut, dinyatakan bagai -
mana hampir semua sarana
pendukung operasional OJK
berasal dari lembaga status
quo. Hal ini dimulai dari Ke -
tentuan Peralihan Pasal 46
ayat (2) yang mengisyaratkan
dua tahun pertama anggaran
OJK untuk pengawasan dan
pengaturan di bidang perbankan
berasal dari anggaran
Bank Indonesia. Kemudian,
Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2)
yang mengatur peralihan sta -
tus kepegawaian dari Bank
Indonesia dan BAPEPAM/LK
kepada OJK. Ada lagi Pasal 49
ayat (1) dan (2) yang mengatur
peralihan infrastruktur dan
kekayaan negara dari Bank
Indonesia dan BAPEPAM/LK
untuk digunakan oleh OJK.
Kontradiksi itu lantas ditutup
dengan Ketentuan Penutup
Pasal 50 ayat (1) dan (2) yang
menugaskan Bank Indonesia
dan BAPEPAM/LK untuk
menyiapkan perangkat dan
infrastruktur yang dibutuhkan
oleh OJK agar menjalankan
tugas dan wewenangnya.
Dari penjabaran tersebut,
dapat kita lihat bahwa sebenarnya
OJK dibentuk hanya
berupa ‘ganti baju’ dari sistem
status quo yang sedang berjalan.
Mulai dari anggaran,
pegawai, aset, hingga penyediaan
infrastruktur dan perang -
kat awal berasal dari Bank
Indonesia dan BAPEPAM-LK.
Lantas, apa yang baru dari
OJK ini? Terlepas dari begitu
enaknya OJK mendapatkan
kemudahan untuk operasio nal
awalnya. Namun, yang lebih
penting dari proses ‘ganti baju’
ini adalah tidak adanya sema -
ngat yang cukup bagi OJK un -
tuk memperbaiki sistem peng -
awasan dan pengaturan status
quo. Bahkan, konsep ‘ganti ba -
ju’ ini diperkuat dengan per -
nya taan dari Tim Panitia
Antardepartemen RUU tentang
OJK yang sering mengibarat -
kannya dengan ‘bedol desa’.
Hal ini kemudian secara jelas
menggambarkan bagaimana
proses pembentukan OJK
hanya akan menjadi ajang perpindahan
sumber daya yang
‘ganti baju’, tetapi dengan ‘isi’
yang sama.
Permasalahan yang sama
akan kita temukan juga dalam
konsep Dewan Komisioner
OJK (DK-OJK). Posisi DKOJK
akan menjadi posisi yang
prestisius, mengingat posisi DK
adalah pucuk pimpinan tertinggi
di OJK yang akan men -
jadi otoritas atas kumpulan in -
dustri yang memiliki total nilai
aset lebih dari Rp 2.000 triliun.
Sehingga, publik seba gai pe -
milik dana sektor ke uang an
perlu memastikan bahwa dana
mereka benar-benar diawasi
dan diatur oleh pimpinan yang
kredibel di OJK.
Dari total jumlah anggota
DK sebanyak tujuh orang,
empat di antaranya berasal
dari lembaga yang merupakan
sumber fungsi pengawasan dan
pengaturan yang diambil alih
oleh OJK. Sebanyak satu orang
berasal dari ex officio Bank
Indonesia, satu orang berasal
dari ex officio pejabat eselon
satu Kementerian Keuangan
dan dua orang berasal dari
pilihan presiden yang direko -
mendasikan oleh Kementerian
Keuangan dan sisa tiga orang
di antaranya berasal dari ke -
pala eksekutif pengawas. Ter -
n yata, unsur DK di dalam OJK
masih kental dengan pengaruh
kedua lembaga tersebut.
Lantas, pertanyaan yang
sama kembali mencuat di
benak kita, apa yang baru dari
OJK ini? Sebab, sumber daya
OJK terbukti tidak berasal dari
suatu semangat baru penga -
wasan dan pengaturan sektor
keuangan. Bahkan, unsur DK
sebagai pucuk pimpinan OJK

pun juga tidak berasal dari
pihak status quo.


Ganendra Widigdya
Mahasiswa Fakultas Ekonomika
dan Bisnis UGM
(Republika 23 Agustus 2010 halaman 4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar